PENCATATAN PERKAWINAN
(Sebuah Tinjauan Yuridis Menurut Hukum Islam Dan
Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1974)
1. Pendahuluan
Pembahasan Rancangan
Undang-Undang Materil Peradilan Agama sedang ramairamainya dibicarakan. Dan
yang menjadi fokus pembicaraannya adalah persoalan adanya sanksi pidana bagi
pelaku nikah tidak tercatat (nikah sirri) yang menjadi salah satu klausula yang
teradapat dalam Rancangan Undang-Undang
Materil Peradilan Agama tersebut.Penyebab terjadinya kontroversial dalam
pembahsan Rancangan undang-undang ini terletak pada status hukum pencatatan
nikah apakah menjadi salah satu syarat yang menyebabkan nikah tidak sah atau kah hanya sekedar syarat administerasi
yang tidak mempengaruhi keabsahan sebuah pernikahan.
Kontroversial pembahsan RUU
Materil Peradilan Agama melahirkan dua kubu dengan dua pendapat yang berbeda,
kelompok pertama berpendapat untuk memberikan perlindungan hukum terhadap
sebuah perkawinan, maka pencatatan perkawinan mutlak diperlukan dan untuk tertibnya
pencatatan perkawinan maka sanksi perlu ditegakkan bagi pelaku perkawinan yang
tidak tercatat. Sedangkan kelompok kedua berpendapat bahwa pencatatan
perkawinan tidak diperlukan karena syarat-syarat dan rukun perkawinan telah
diatur berdasarkan aturan agama karena itu pemberian sanksi terhadap pelaku
perkawinan yang tidak tercatat adalah bertentangan dengan ajaran agama.
Tulisan ini tidak dimaksudkan
untuk membahas apakah tepat atau tidak penerapan sanksi pidana terhadap nikah
tidak tercatat (nikah sirri), tulisan ini mencoba melihat aspek perdata tentang
kedudukan hukum pencatatan nikah dengan pola komparasi antara Undang-Undang
Perkawinan dengan hukum Islam.Tulisan ini tidak pula dimaksudkan sebagai sebuah
pendapat hukum (fatwa) karena kapasitas penulis belum sampai pada tingkat
seorang mujtahid/mufti.
Yang penulis harapkan semoga
tulisan mampu menambah hazanah untuk mencari solusi yang tepat untuk menyatukan
pendapat antara kelompok yang mendukung dan menolak pencatatan perkawinan.
2. Kedudukan pencatatan nikah menurut Hukum
Islam
Aturan tentang perkawinan adalah
salah satu aspek hukumyang diatur dengan sangat rinci dan detil di dalam hukum Islam. Di dalam Al Quran
ayat-ayat yang mengatur perkawinan pada umumnya bersifat muhkamat(bersifat jelas tidak memerlukan
interpretasi). Begitu juga hadits-hadits Nabi yang berisi tentang
ketentuan-ketentuan hukum perkawinan pada umumnya bersifat jelas dan pasti.
Walaupun ketentuan hukum
perkawinan diatur secara jelas dan rinci di dalam AlQuran dan sunnah Nabi, akan
tetapi kita tidak bisa menemukan ketentuanketentuan hukum yang mengatur tentang
pencatatan perkawinan di dalam kedua sumber utama hukum Islam tersebut, bahkan
dalam kitab-kitab fiqh klasik yang pada umumnya dikarang oleh mujtahid-mujtahid
yang datang kemudian setelah periode sahabat dan tabi’in, kita juga tidak
menemukan pembahasan yang berkaitan dengan ketentuan hukum tentang pencatatan
perkawinan. Seakan pembahasan mengenai pencatatan perkawinan merupakan aspek
yang terlupakan untuk dibahas di dalam kitab-kitab fiqh klasik tersebut, bahkan
dalam kitabkitab fiqh yang datang kemudian pun tidak ditemukan pembahasan
tentang pencatatan perkawinan. Kondisi ini barangkali disebabkan karena pada
masa Sahabat dan Tabiin dimana wilayah kekuasaan Islam belum begitu luas,
jumlah populasi penduduk muslim masih sangat kecil, akses informasi dan
transportasi masih sangat sederhana, karena itu untuk mengetahui dan meyakini
adanya sebuah perkawinan cukup dengan mengadakan walimah, maka semua orang bisa
mengetahui adanya sebuah perkawinan.
Sementara saat ini kondisi sudah sangat jauh berbeda, wilayah
negara-negara Islam sudah tersebar dari Timur sampai ke Barat, jumlah populasi
penduduk muslim sudah lebih 1 milyar jiwa dan akses transportasi sudah semakin
canggih yang memudahkan siapa saja untuk pergi ke mana saja. Andaikata
seseorang yang sudah menikah di suatu tempat kemudian pergi ke tempat lain dan
di sana dia ingin menikah lagi, jika perkawinan pertamanya tidak tercatat, maka
di tempat yang dia tuju dia cukup mengaku belum menikah, maka dia dengan mudah
dapat melakukan pernikahannya yang kedua atau pernikahan yang selanjutnya. Jika
yang melakukan hal itu adalah seorang laki-laki yang sudah menikah, persoalan
hukum masih ada jalan keluarnya karena menurut hukum Islam seorang laki-laki
boleh kawin sampai empat, tapi jika hal itu dilakukan oleh seorang perempuan
yang sudah menikah, maka pernikahan selanjutnya
pasid dan haram hukumnya dia menikah lagi jika belum bercerai dengan
suami sebelumnya. Begitu juga tentang wali nikah, perkawinan yang tidak
tercatat biasanya dilakukan karena berbenturan dengan persoalan hukum, apakah
itu karena mereka adalah pasangan yang sudah menikah tapi belum bercerai secara
resmi sehingga wali yang sah tidak mau menikahkan mereka sebelum ada akte
cerainya, ataupun karena walinya tidak menyetujui pernikahan pasangan tersebut,
sebagai jalan keluarnya maka pasangan itu mengambil jalan pintas dengan mencari
seorang ahli agama atau ustadz, lalu mereka minta dinikahkan, jika walinya yang
berhak tidak mau menikahkan mereka, maka ahli agama atau ustadz tersebutlah
mereka minta untuk menjadi wali nikahnya, tentunya pernikahan yang dilakukan
oleh wali yang tidak berhak ini masih dipertanyakan keabsahannya. Dilihat dari
sisi ini saja maka pencatatan perkawinan
menjadi faktor yang sangat penting untuk menjaga pelaksanaan hukum perkawinan
itu agar dijalankan secara tepat dan benar, karena di dalam Islam pernikahan
adalah suatu ikatan yang suci.
Tentunya muncul pertanyaan,apakah
memang Islam tidak mengatur tentang pencatatan perkawinan? Secara eksplisit
pencatatan perkawinan memang tidak ada dibahas di dalam dua sumber utama hukum
Islam, baik itu dalam Al Quran maupun dalam hadits Nabi, namun jika kita teliti
dari ayat pertama yang diturunkan kepada Nabi SAW, yaitu surat Al’Alaq yang
mengandung perintah untuk membaca, setidaknya kita dapat menarik sebuah
konklusi bahwa Islam adalah agama pertama yang mengajarkan umatnya untuk
menulis dan membaca dan mengelola administerasi secara modern.
Hal ini diperkuat dengan firman
Allah dalam surat 2 (Al Baqarah) ayat 282:
$ygr'¯»t úïÏ%©!$# (#þqãZtB#uä #sÎ) LäêZt#ys? AûøïyÎ/ #n<Î) 9@y_r& wK|¡B çnqç7çFò2$$sù 4 =çGõ3uø9ur öNä3uZ÷/ 7=Ï?$2 ÉAôyèø9$$Î/ 4 wur z>ù't ë=Ï?%x. br& |=çFõ3t $yJ2 çmyJ¯=tã ª!$# 4 ó=çGò6uù=sù È@Î=ôJãø9ur Ï%©!$# Ïmøn=tã ,ysø9$# È,Guø9ur ©!$# ¼çm/u wur ó§yö7t çm÷ZÏB $\«øx© 4 bÎ*sù tb%x. Ï%©!$# Ïmøn=tã ,ysø9$# $·gÏÿy ÷rr& $¸ÿÏè|Ê ÷rr& w ßìÏÜtGó¡o br& ¨@ÏJã uqèd ö@Î=ôJãù=sù ¼çmÏ9ur ÉAôyèø9$$Î/ 4 (#rßÎhô±tFó$#ur ÈûøïyÍky `ÏB öNà6Ï9%y`Íh ( bÎ*sù öN©9 $tRqä3t Èû÷ün=ã_u ×@ã_tsù Èb$s?r&zöD$#ur `£JÏB tböq|Êös? z`ÏB Ïä!#ypk¶9$# br& ¨@ÅÒs? $yJßg1y÷nÎ) tÅe2xçFsù $yJßg1y÷nÎ) 3t÷zW{$# 4 wur z>ù't âä!#ypk¶9$# #sÎ) $tB (#qããß 4 wur (#þqßJt«ó¡s? br& çnqç7çFõ3s? #·Éó|¹ ÷rr& #·Î72 #n<Î) ¾Ï&Î#y_r& 4 öNä3Ï9ºs äÝ|¡ø%r& yZÏã «!$# ãPuqø%r&ur Íoy»pk¤¶=Ï9 #oT÷r&ur wr& (#þqç/$s?ös? ( HwÎ) br& cqä3s? ¸ot»yfÏ? ZouÅÑ%tn $ygtRrãÏè? öNà6oY÷t/ }§øn=sù ö/ä3øn=tæ îy$uZã_ wr& $ydqç7çFõ3s? 3 (#ÿrßÎgô©r&ur #sÎ) óOçF÷èt$t6s? 4 wur §!$Òã Ò=Ï?%x. wur ÓÎgx© 4 bÎ)ur (#qè=yèøÿs? ¼çm¯RÎ*sù 8-qÝ¡èù öNà6Î/ 3 (#qà)¨?$#ur ©!$# ( ãNà6ßJÏk=yèãur ª!$# 3 ª!$#ur Èe@à6Î/ >äóÓx« ÒOÎ=tæ ÇËÑËÈ
Artinya :”Hai orang-orang yang
beriman, apabila kamu bermuamalah (melakukan hubungan keperdataan) tidak secara
tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya, dan hendaklah
seorang penulis diantara kamu menuliskannya dengan benar. Dan janganlah penulis
enggan menuliskannya sebagaimana Allah telah mengajarkannya, maka hendaklah ia
menulis, maka hendaklah orang yang berhutang itu mengimlak (mendikte) kannya
(apa yang akan ditulis itu), dan hendaklah ia bertaqwa kepada Allah Tuhannya,
dan janganlah ia mengurangi sedikitpun daripada hutangnya. Jika yang berhutang
itu orang yang lemah akalnya atau lemah (keadaannya) atau dia sendiri tidak
mampu mengimlakkan maka hendaklah walinya mengimlakkan dengan jujur. Dan
persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang laki-laki. Jika tidak ada dua
orang laki-laki, maka boleh seorang laki-laki dengan dua orang perempuan dari
saksi-saksi yang kami redhoi, supaya jika seorang lupa maka seorang lagi
mengingatkannya. Janganlah saksi-saksi itu enggan (memberikan keterangan)
apabila mereka dipanggil, dan janganlah kamu jemu menuliskan hutang itu, baik
kecil maupun besar sampai batas waktu membayarnya. Yang demikian itu lebih adil
di sisi Allah dan lebih dapat menguatkan persaksian dan lebih dekat kepada
tidak (menimbulkan) keraguanmu, (tulislah muamalahmu itu), kecuali jika
muamalah itu perdagangan tunai yang kamu jalankan di antara kamu, maka tidak
ada dosa bagi kamu (jika) kamutidak menulisnya. Dan persaksikanlah apabila kamu
berjual beli; dan janganlah penulis dan saksi saling sulit menyulitkan. Jika
kamu lakukan (yang demikian), maka hal itu adalah suatu kefasikan pada dirimu.
Dan bertaqwalah kepada Allah, Allah lah yang mengajarmu dan Allah maha
mengetahui segala sesuatu”.
Ayat ini secara spesifik berisi
perintah untuk melakukan pencatatan dalam persoalan hutang piutang (muamalah).
Hutang piutang (muamalah) termasuk bagian dari hukum privat (keperdataan). Tujuan pencatatan dalam
hubungan hukum keperdataan adalah untuk menjaga agar masing-masing pihak yang
terikat dengan hubungan hukumtersebut dapat menjalankan hak dan kewajibannya
secara baik dan bertanggung jawab. Dalam konteks ini pencatatan menjadi faktor
penting sebagai bukti adanya hubungan keperdataan tersebut.
Dalam prinsip hukum perkawinan
Islam, hak dan kewajiban antara suami dan isteri diatur dengan begitu baik dan
sempurna, walaupun ada sebagian orang menilai bahwa hukum perkawinan Islam
terlalu memberikan prioriotas kepada suami, sehingga seakan-akan suami lebih
memiliki hak lebih dominan daripada isteri. Akan tetapi perlu disadari bahwa
Islam menekankan tanggung jawab yang begitu besar di bidang ekonomi dan
kesejahteraan keluarga ke atas seorang suami terhadap isterinya, di mana suami
diwajibkan untuk menyediakan kebutuhan ekonomi untuk isteri baik nafkah harian,
pakaian maupun perumahan serta kebutuhan materi lainnya. sebaliknya Islam juga
menempat tugas dan tanggung jawab yang tidak bisa dianggap ringan kepada
seorang isteri dalam hal mengelola segala urusan rumah tangga, sehinga boleh
dikatakan bahwa Islam menempatkan tugas dan tanggung jawab yang seimbang antara
suami dan isteri dalam sebuah rumah tangga. Namun persoalan menjadi ironi
ketika sebuah rumah tangga mengalami suatu persoalan, pihak isterilah yang
paling banyak menanggung resiko, terabaikan dan tidak terpenuhi hak-haknya
sebagai isteri.
Karena pencatatan tidak menjadi
bagian penting dari system hukum perkawinan Islam, maka di beberapa tempat ada
kita temukan para suami lebih mementingkan hak-haknya sebagai suami dan
seringkali mengabaikan tanggung jawabnya terhadap rumah tangga. Dan ketika suatu
perkawinan tidak dapat dibuktikan dengan suatu pencatatan, maka seringkali para
isteri dan anak-anak yang lahir dari perkawinan tersebut menjadi korban,
diabaikan bahkan ditelantarkan.
Dalam konsep hukum modern saat
ini, perkawinan adalah bagian dari hukum privat (keperdataan), dan inti dari
pembahasan yang terkandung dalam firman Allah dalam surat 2 (Al-Baqarah) ayat
282 di atas berkaitan dengan perintah untuk penertiban administerasi antara
orang perorangan. oleh karena itu
pencatatan nikah tidak berbeda dengan pencatatan hutang piutang, ianya menjadi
suatu kemaslahatan agar suami dan isteri dapat menjalankan tangung jawabnya
secara baik dan benar, dan ketika tanggung jawab tersebut tidak dilaksanakan
oleh salah satu pihak, maka pihak yang merasa dirugikan dapat menuntut tanggung
jawab tersebut melalui sitem hukum yang tersedia.
Dengan menganalisa makna yang
terkandung dalam firman Allah pada surat Al’Alaq ayat (1-5) dan Surat Al
Baqarah ayat (282), maka dapat kita ambil kesimpulan bahwa Islam sangat menjunjung
tinggi ilmu pengetahuan danmewajibkan pemeluknya untuk mengelola administerasi
secara baik dan benar dalam setiap hubungan keperdataan yang dilakukan, maka
Islam tidak melarang pencatatan perkawinan. Selanjutnya dengan menganalisa
dampak negatif yangtimbul akibat suatu perkawinan yang tidak dicatat, dan
dengan pertimbangan menolak mudharat dan demi kemaslahatan ummat, maka
pencatatan perkawinan adalah suatu hal yang menjadi kemaslahatan bagi ummat dan
tidak bertentangan dengan hukum Islam. Dalam hal ini barangkali dapat kita
katakan bahwa pencatatan bukanlah termasuk salah satu rukun nikah melainkan ia
termasuk salah satu syarat sah nikah.
Mungkin banyak yang tidak sependapat dan tidak sedikit pula yang
menentang kesimpulan yang penulis ambil dalam tulisan ini. Akan tetapi ini
hanyalah sebuah wacana yang barangkali bisa membuka cakrawala kita tentang arti
penting pencatatan bagi sebuah perkawinan. Wallah a’lamu bissawab
Oleh : Drs. H. M. Yusar, MH
1 komentar:
Makasih, Pak Ustadz..! Artikelnya cukup memberikan pencerahan..
Tp ada pertanyaan nich, hehe.. Dlm artikel di atas ada pernyataan :
"..tentunya pernikahan yang dilakukan oleh wali yang tidak berhak ini masih dipertanyakan keabsahannya."
dalam kehidupan hal ini saya lihat banyak terjadi meskipun alasannya beragam, sebagai contoh tidak ada wali yg sah karena meninggal dunia.
Apakah dengan kondisi demikian keabsahan pernikahannyapun perlu dipertanyakan juga..?
Posting Komentar