Rabu, 29 Agustus 2012

Membongkar Mitos dalam Akad Nikah

Akad Nikah adalah akad yang sakral dan oleh karenanya harus khidmat dalam menjalaninya. Tapi kesakralan tersebut tidak perlu dijalani dengan wajah wajah tegang. Terlebih lagi ketegangan tersebut bukan berasal dari aturan-aturan yang termaktub dalam fiqh Munakahat, melainkan dari pemahaman sebagian orang atas aturan-aturan tersebut yang sayangnya diterima masyarakat begitu saja secara tidak kritis dan akhirnya menjadi mitos yang membelenggu setiap orang yang akan melangsungkan akad nikah.


Dalam kebanyakan akad nikah yang dihadiri, penulis sering kali menyaksikan wajah-wajah tegang, terutama calon pengantin (catin). Tampaknya ketegangan itu muncul akibat rasa khawatir yang berlebihan atas kelancaran prosesi ijab-qabul. baik oleh yang perdana (jejaka) maupun oleh yang kedua kalinya. (Duda). Hal ini dikarenakan pemahaman masyarakat yang sebagian telah menjadi mitos dalam pelaksanaan ijab-qabul.yang perlu diklarifikasi keabsahanya secara hukum, baik fiqh maupun peraturan perundang-undangan.

1. Akad Nikah lebih Utama menggunakan Bahasa Arab?

Dalam UU No. 1/1974 tentang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam (KHI) tidak diatur mengenai bahasa yang sebaiknya digunakan dalam akad nikah. Sehingga aturan dalam fiqh munakahat yang dijadikan acuan pelacakan.
Ibnu Qudamah dalam kitab Al-Mughni sebagaimana yang dikutip sayid sabiq (1983:31-32) berpendapat, bagi catin yang memahami bahasa Arab dengan baik, maka ijab qabulnya harus menggunakan bahasa Arab. sehingga apabila yang bersangkutan menggunkan bahasa selain Arab maka ijab qabulnya tidak sah. Adapun catin yang tidak memahami bahasa Arab, maka ia boleh menggunakan bahasanya sendiri, asalkan semakna dengan kata "Nikah" dan "Tajwij" dan kewajibannya menggunakan bahasa Arab menjadi gugur.
Berbeda dengan Ibnu Qudamah, Imam Abu Hanifah berpendapat, sah akad nikah menggunakan bahasa selain bahasa Arab, sekalipun yang bersangkutan memahami bahasa Arab. Karena yang terpenting, kata-kata yang digunakan semakna dengan kata-kata dalam bahasa Arab. Pandangan tersebut senada dengan pendapat jumhur ulama Syafi'iyah (Wahbah az-Zuhaeli, 1989:41) yang membolehkan akad nikah menggunakan bahasa selain bahasa Arab, asalkan dapat dimengerti. Karena yang menjadi inti suatu akad adalah adanya ungkapan kehendak. Dan ungkapan tersebut bisa dinyatakan dalam aneka ragam bahasa.
Pendapat Ibnu Taimiyah pun layak digaris bawahi. menurutnya, orang non arab yang belajar bahasa Arab secara dadakan bisa jadi ia tidak memahami bahasa tersebut sebaik bahasanya sendiri.
Dari paparan diatas menjadi maklum, bahwa yang menjadi pokok dalam akad nikah adalah adanya kesepahaman antara para pihak yang melakukan ijab qabul, bukan bahasa yang digunakan. sehingga bila orang yang tidak memahami bahasa arab dengan baik "dipaksa" melakukan akad nikah dalam bahasa Arab selain tidak elok juga dikhawatirkan menimbulkan keraguan tentang kesahihan prosesi ijab qabul yang dilangsungkan. Karena berdasarkan pengalaman penulis bertugas dilapangan, tidak semua catin yang menginginkan akad nikahnya menggunakan bahasa Arab itu memahami dengan baik makna dari kata-kata ijab qabul tersebut. Begitu pula para saksi. keinginan  catin tersebut tidak jarang berasal dari keinginan orang lain, semisal calon mertua dan guru ngajinya ataupun anjuran tokoh kharismatik setempat yang masih dianggap tabu untuk diabaikan.

2. Ijab Qabul harus Lancar dan Satu Tarikan Nafas?

Terkait hal ini, KHI pasal 27 menyebutkan : "Ijab dan Kabul antara wali dan calon pengantin laki-laki harus jelas, beruntun dan tidak berselang waktu". Tidak jarang, berdasarkan pemahaman atas ketentuan tersebut secara letterlijk, ijab Qabul harus diulang berkali-kali karena masih dinilai tersendat-sendat dan tidak nyambung (ittishol) antara ijab dan Qabul.  Bahkan, dalam sebuah kesempatan akad nikah yang dihadiri penulis, ijab Qabul tersebut harus diulang oleh wali dan catin pria  dengan susah payah sampai lima kali.!!! Dan itupun baru berhasil dilakukan karena lafal Qabulnya ditulis di secarik kertas dan kemudian dibacakan Yang emapt kali sebelumnya dinilai tidak sah oleh para saksi karena tersendat-sendat dan tidak lancar, sehingga ijab qabul tersebut dianggap tidak beruntun dan berselang waktu. Sesulit itukah ijab-qabul dalam pernikahan???....
Kebanyakan ulama sepakat, bahwa berlangsungnya ijab-qabul dalam satu majlis adalah syarat sahnya akad nikah dari segi sighat. Artinya ketika mengucapkan ijab qabul tersebut tidak boleh diselingi dengan kata-kata lain, atau menurut kebiasaan setempat ada selingan (selain akad Nikah ) yang menghalangi peristiwa ijab qabul.
Yang masih diperselisihkan adalah menyangkut kesegeraan mengucapkan shigat qabul sesudah ijab (lihat Abdurrahman Al-Jaziry, 2003:21) Mazhab Hanbali dan Hanafi sependapat bahwa kesegeraan mengucapkan qabul sesudah ijab tidaklah menjadi syarat, asalkan masih satu majlis menurut kebiasaan setempat ('urfi). Mazhab Syafi'i dan Maliki sependapat bahwa kesegeraan tersebut adalah syarat sah ijab qabul. Menurut kedua Mazhab ini antara ijab dan qabul tidak boleh ada pemisah, kecuali yang dapat ditoleransi (sebentar).  sehubunmgan demikian, Ibrahim Hosen (1971:122) menyimpulkan, shigat qabul itu tidak harus diucapkan dengan lancar atau dalam satu tarikan nafas. Karena yang penting, ijab qabul tersebut terjadi dalam satu majlis. Dan menurut Ibunu Qudamah, tetap dipandang satu majlis selama terjadinya akad nikah.

'Ala kulli hal, penulis sepakat, akad nkah adalah akad yang sakral dan oleh karenanya harus khidmat dalam menjalaninya. tapi kesakralan tersebut tidak perlu dijalani dengan wajah-wajah tegang. Terlebih lagi pangkal ketegangan tersebut bukan berasal dari aturan-aturan yang termaktub dalam fiqh munakahat , melainkan dari pemahaman sebagian orang atas aturan-aturan tersebut yang sayangnya diterima masyarakat begitu saja secara tidak kritis dan akhirnya menjadi mitos yang membelenggu setiap orang yang akan melangsungkan akad nikah. Wallahu a'lam bis showab.

Tidak ada komentar: