Rabu, 29 Agustus 2012

PENCATATAN PERKAWINAN


PENCATATAN PERKAWINAN
(Sebuah Tinjauan Yuridis Menurut Hukum Islam Dan Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1974)

1.      Pendahuluan
Pembahasan Rancangan Undang-Undang Materil Peradilan Agama sedang ramairamainya dibicarakan. Dan yang menjadi fokus pembicaraannya adalah persoalan adanya sanksi pidana bagi pelaku nikah tidak tercatat (nikah sirri) yang menjadi salah satu klausula yang teradapat dalam Rancangan Undang-Undang  Materil Peradilan Agama tersebut.Penyebab terjadinya kontroversial dalam pembahsan Rancangan undang-undang ini terletak pada status hukum pencatatan nikah apakah menjadi salah satu syarat yang menyebabkan nikah tidak sah  atau kah hanya sekedar syarat administerasi yang tidak mempengaruhi keabsahan sebuah pernikahan.
Kontroversial pembahsan RUU Materil Peradilan Agama melahirkan dua kubu dengan dua pendapat yang berbeda, kelompok pertama berpendapat untuk memberikan perlindungan hukum terhadap sebuah perkawinan, maka pencatatan perkawinan mutlak diperlukan dan untuk tertibnya pencatatan perkawinan maka sanksi perlu ditegakkan bagi pelaku perkawinan yang tidak tercatat. Sedangkan kelompok kedua berpendapat bahwa pencatatan perkawinan tidak diperlukan karena syarat-syarat dan rukun perkawinan telah diatur berdasarkan aturan agama karena itu pemberian sanksi terhadap pelaku perkawinan yang tidak tercatat adalah bertentangan dengan ajaran agama.
Tulisan ini tidak dimaksudkan untuk membahas apakah tepat atau tidak penerapan sanksi pidana terhadap nikah tidak tercatat (nikah sirri), tulisan ini mencoba melihat aspek perdata tentang kedudukan hukum pencatatan nikah dengan pola komparasi antara Undang-Undang Perkawinan dengan hukum Islam.Tulisan ini tidak pula dimaksudkan sebagai sebuah pendapat hukum (fatwa) karena kapasitas penulis belum sampai pada tingkat seorang  mujtahid/mufti.
Yang penulis harapkan semoga tulisan mampu menambah hazanah untuk mencari solusi yang tepat untuk menyatukan pendapat antara kelompok yang mendukung dan menolak pencatatan perkawinan.
2.       Kedudukan pencatatan nikah menurut Hukum Islam
Aturan tentang perkawinan adalah salah satu aspek hukumyang diatur dengan sangat rinci dan  detil di dalam hukum Islam. Di dalam Al Quran ayat-ayat yang mengatur perkawinan pada umumnya bersifat  muhkamat(bersifat jelas tidak memerlukan interpretasi). Begitu juga hadits-hadits Nabi yang berisi tentang ketentuan-ketentuan hukum perkawinan pada umumnya bersifat jelas dan pasti.
Walaupun ketentuan hukum perkawinan diatur secara jelas dan rinci di dalam AlQuran dan sunnah Nabi, akan tetapi kita tidak bisa menemukan ketentuanketentuan hukum yang mengatur tentang pencatatan perkawinan di dalam kedua sumber utama hukum Islam tersebut, bahkan dalam kitab-kitab fiqh klasik yang pada umumnya dikarang oleh mujtahid-mujtahid yang datang kemudian setelah periode sahabat dan tabi’in, kita juga tidak menemukan pembahasan yang berkaitan dengan ketentuan hukum tentang pencatatan perkawinan. Seakan pembahasan mengenai pencatatan perkawinan merupakan aspek yang terlupakan untuk dibahas di dalam kitab-kitab fiqh klasik tersebut, bahkan dalam kitabkitab fiqh yang datang kemudian pun tidak ditemukan pembahasan tentang pencatatan perkawinan. Kondisi ini barangkali disebabkan karena pada masa Sahabat dan Tabiin dimana wilayah kekuasaan Islam belum begitu luas, jumlah populasi penduduk muslim masih sangat kecil, akses informasi dan transportasi masih sangat sederhana, karena itu untuk mengetahui dan meyakini adanya sebuah perkawinan cukup dengan mengadakan walimah, maka semua orang bisa mengetahui adanya sebuah perkawinan.  Sementara saat ini kondisi sudah sangat jauh berbeda, wilayah negara-negara Islam sudah tersebar dari Timur sampai ke Barat, jumlah populasi penduduk muslim sudah lebih 1 milyar jiwa dan akses transportasi sudah semakin canggih yang memudahkan siapa saja untuk pergi ke mana saja. Andaikata seseorang yang sudah menikah di suatu tempat kemudian pergi ke tempat lain dan di sana dia ingin menikah lagi, jika perkawinan pertamanya tidak tercatat, maka di tempat yang dia tuju dia cukup mengaku belum menikah, maka dia dengan mudah dapat melakukan pernikahannya yang kedua atau pernikahan yang selanjutnya. Jika yang melakukan hal itu adalah seorang laki-laki yang sudah menikah, persoalan hukum masih ada jalan keluarnya karena menurut hukum Islam seorang laki-laki boleh kawin sampai empat, tapi jika hal itu dilakukan oleh seorang perempuan yang sudah menikah, maka pernikahan selanjutnya  pasid dan haram hukumnya dia menikah lagi jika belum bercerai dengan suami sebelumnya. Begitu juga tentang wali nikah, perkawinan yang tidak tercatat biasanya dilakukan karena berbenturan dengan persoalan hukum, apakah itu karena mereka adalah pasangan yang sudah menikah tapi belum bercerai secara resmi sehingga wali yang sah tidak mau menikahkan mereka sebelum ada akte cerainya, ataupun karena walinya tidak menyetujui pernikahan pasangan tersebut, sebagai jalan keluarnya maka pasangan itu mengambil jalan pintas dengan mencari seorang ahli agama atau ustadz, lalu mereka minta dinikahkan, jika walinya yang berhak tidak mau menikahkan mereka, maka ahli agama atau ustadz tersebutlah mereka minta untuk menjadi wali nikahnya, tentunya pernikahan yang dilakukan oleh wali yang tidak berhak ini masih dipertanyakan keabsahannya. Dilihat dari sisi ini saja  maka pencatatan perkawinan menjadi faktor yang sangat penting untuk menjaga pelaksanaan hukum perkawinan itu agar dijalankan secara tepat dan benar, karena di dalam Islam pernikahan adalah suatu ikatan yang suci.
Tentunya muncul pertanyaan,apakah memang Islam tidak mengatur tentang pencatatan perkawinan? Secara eksplisit pencatatan perkawinan memang tidak ada dibahas di dalam dua sumber utama hukum Islam, baik itu dalam Al Quran maupun dalam hadits Nabi, namun jika kita teliti dari ayat pertama yang diturunkan kepada Nabi SAW, yaitu surat Al’Alaq yang mengandung perintah untuk membaca, setidaknya kita dapat menarik sebuah konklusi bahwa Islam adalah agama pertama yang mengajarkan umatnya untuk menulis dan membaca dan mengelola administerasi secara modern.
Hal ini diperkuat dengan firman Allah dalam surat 2 (Al Baqarah) ayat 282:
$ygƒr'¯»tƒ šúïÏ%©!$# (#þqãZtB#uä #sŒÎ) LäêZtƒ#ys? AûøïyÎ/ #n<Î) 9@y_r& wK|¡B çnqç7çFò2$$sù 4 =çGõ3uø9ur öNä3uZ÷­/ 7=Ï?$Ÿ2 ÉAôyèø9$$Î/ 4 Ÿwur z>ù'tƒ ë=Ï?%x. br& |=çFõ3tƒ $yJŸ2 çmyJ¯=tã ª!$# 4 ó=çGò6uù=sù È@Î=ôJãŠø9ur Ï%©!$# Ïmøn=tã ,ysø9$# È,­Guø9ur ©!$# ¼çm­/u Ÿwur ó§yö7tƒ çm÷ZÏB $\«øx© 4 bÎ*sù tb%x. Ï%©!$# Ïmøn=tã ,ysø9$# $·gŠÏÿy ÷rr& $¸ÿÏè|Ê ÷rr& Ÿw ßìÏÜtGó¡o br& ¨@ÏJムuqèd ö@Î=ôJãŠù=sù ¼çmÏ9ur ÉAôyèø9$$Î/ 4 (#rßÎhô±tFó$#ur ÈûøïyÍky­ `ÏB öNà6Ï9%y`Íh ( bÎ*sù öN©9 $tRqä3tƒ Èû÷ün=ã_u ×@ã_tsù Èb$s?r&zöD$#ur `£JÏB tböq|Êös? z`ÏB Ïä!#ypk9$# br& ¨@ÅÒs? $yJßg1y÷nÎ) tÅe2xçFsù $yJßg1y÷nÎ) 3t÷zW{$# 4 Ÿwur z>ù'tƒ âä!#ypk9$# #sŒÎ) $tB (#qããߊ 4 Ÿwur (#þqßJt«ó¡s? br& çnqç7çFõ3s? #·ŽÉó|¹ ÷rr& #·ŽÎ7Ÿ2 #n<Î) ¾Ï&Î#y_r& 4 öNä3Ï9ºsŒ äÝ|¡ø%r& yZÏã «!$# ãPuqø%r&ur Íoy»pk¤=Ï9 #oT÷Šr&ur žwr& (#þqç/$s?ös? ( HwÎ) br& šcqä3s? ¸ot»yfÏ? ZouŽÅÑ%tn $ygtRr㍃Ïè? öNà6oY÷t/ }§øŠn=sù ö/ä3øn=tæ îy$uZã_ žwr& $ydqç7çFõ3s? 3 (#ÿrßÎgô©r&ur #sŒÎ) óOçF÷ètƒ$t6s? 4 Ÿwur §!$ŸÒムÒ=Ï?%x. Ÿwur ÓÎgx© 4 bÎ)ur (#qè=yèøÿs? ¼çm¯RÎ*sù 8-qÝ¡èù öNà6Î/ 3 (#qà)¨?$#ur ©!$# ( ãNà6ßJÏk=yèãƒur ª!$# 3 ª!$#ur Èe@à6Î/ >äóÓx« ÒOŠÎ=tæ ÇËÑËÈ  

Artinya :”Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermuamalah (melakukan hubungan keperdataan) tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya, dan hendaklah seorang penulis diantara kamu menuliskannya dengan benar. Dan janganlah penulis enggan menuliskannya sebagaimana Allah telah mengajarkannya, maka hendaklah ia menulis, maka hendaklah orang yang berhutang itu mengimlak (mendikte) kannya (apa yang akan ditulis itu), dan hendaklah ia bertaqwa kepada Allah Tuhannya, dan janganlah ia mengurangi sedikitpun daripada hutangnya. Jika yang berhutang itu orang yang lemah akalnya atau lemah (keadaannya) atau dia sendiri tidak mampu mengimlakkan maka hendaklah walinya mengimlakkan dengan jujur. Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang laki-laki. Jika tidak ada dua orang laki-laki, maka boleh seorang laki-laki dengan dua orang perempuan dari saksi-saksi yang kami redhoi, supaya jika seorang lupa maka seorang lagi mengingatkannya. Janganlah saksi-saksi itu enggan (memberikan keterangan) apabila mereka dipanggil, dan janganlah kamu jemu menuliskan hutang itu, baik kecil maupun besar sampai batas waktu membayarnya. Yang demikian itu lebih adil di sisi Allah dan lebih dapat menguatkan persaksian dan lebih dekat kepada tidak (menimbulkan) keraguanmu, (tulislah muamalahmu itu), kecuali jika muamalah itu perdagangan tunai yang kamu jalankan di antara kamu, maka tidak ada dosa bagi kamu (jika) kamutidak menulisnya. Dan persaksikanlah apabila kamu berjual beli; dan janganlah penulis dan saksi saling sulit menyulitkan. Jika kamu lakukan (yang demikian), maka hal itu adalah suatu kefasikan pada dirimu. Dan bertaqwalah kepada Allah, Allah lah yang mengajarmu dan Allah maha mengetahui segala sesuatu”.
Ayat ini secara spesifik berisi perintah untuk melakukan pencatatan dalam persoalan hutang piutang (muamalah). Hutang piutang (muamalah) termasuk bagian dari hukum  privat (keperdataan). Tujuan pencatatan dalam hubungan hukum keperdataan adalah untuk menjaga agar masing-masing pihak yang terikat dengan hubungan hukumtersebut dapat menjalankan hak dan kewajibannya secara baik dan bertanggung jawab. Dalam konteks ini pencatatan menjadi faktor penting sebagai bukti adanya hubungan keperdataan tersebut.
Dalam prinsip hukum perkawinan Islam, hak dan kewajiban antara suami dan isteri diatur dengan begitu baik dan sempurna, walaupun ada sebagian orang menilai bahwa hukum perkawinan Islam terlalu memberikan prioriotas kepada suami, sehingga seakan-akan suami lebih memiliki hak lebih dominan daripada isteri. Akan tetapi perlu disadari bahwa Islam menekankan tanggung jawab yang begitu besar di bidang ekonomi dan kesejahteraan keluarga ke atas seorang suami terhadap isterinya, di mana suami diwajibkan untuk menyediakan kebutuhan ekonomi untuk isteri baik nafkah harian, pakaian maupun perumahan serta kebutuhan materi lainnya. sebaliknya Islam juga menempat tugas dan tanggung jawab yang tidak bisa dianggap ringan kepada seorang isteri dalam hal mengelola segala urusan rumah tangga, sehinga boleh dikatakan bahwa Islam menempatkan tugas dan tanggung jawab yang seimbang antara suami dan isteri dalam sebuah rumah tangga. Namun persoalan menjadi ironi ketika sebuah rumah tangga mengalami suatu persoalan, pihak isterilah yang paling banyak menanggung resiko, terabaikan dan tidak terpenuhi hak-haknya sebagai isteri.
Karena pencatatan tidak menjadi bagian penting dari system hukum perkawinan Islam, maka di beberapa tempat ada kita temukan para suami lebih mementingkan hak-haknya sebagai suami dan seringkali mengabaikan tanggung jawabnya terhadap rumah tangga. Dan ketika suatu perkawinan tidak dapat dibuktikan dengan suatu pencatatan, maka seringkali para isteri dan anak-anak yang lahir dari perkawinan tersebut menjadi korban, diabaikan bahkan ditelantarkan.
Dalam konsep hukum modern saat ini, perkawinan adalah bagian dari hukum privat (keperdataan), dan inti dari pembahasan yang terkandung dalam firman Allah dalam surat 2 (Al-Baqarah) ayat 282 di atas berkaitan dengan perintah untuk penertiban administerasi antara orang perorangan.  oleh karena itu pencatatan nikah tidak berbeda dengan pencatatan hutang piutang, ianya menjadi suatu kemaslahatan agar suami dan isteri dapat menjalankan tangung jawabnya secara baik dan benar, dan ketika tanggung jawab tersebut tidak dilaksanakan oleh salah satu pihak, maka pihak yang merasa dirugikan dapat menuntut tanggung jawab tersebut melalui sitem hukum yang tersedia.
Dengan menganalisa makna yang terkandung dalam firman Allah pada surat Al’Alaq ayat (1-5) dan Surat Al Baqarah ayat (282), maka dapat kita ambil kesimpulan bahwa Islam sangat menjunjung tinggi ilmu pengetahuan danmewajibkan pemeluknya untuk mengelola administerasi secara baik dan benar dalam setiap hubungan keperdataan yang dilakukan, maka Islam tidak melarang pencatatan perkawinan. Selanjutnya dengan menganalisa dampak negatif yangtimbul akibat suatu perkawinan yang tidak dicatat, dan dengan pertimbangan menolak mudharat dan demi kemaslahatan ummat, maka pencatatan perkawinan adalah suatu hal yang menjadi kemaslahatan bagi ummat dan tidak bertentangan dengan hukum Islam. Dalam hal ini barangkali dapat kita katakan bahwa pencatatan bukanlah termasuk salah satu rukun nikah melainkan ia termasuk salah satu syarat sah nikah.
Mungkin banyak yang  tidak sependapat dan tidak sedikit pula yang menentang kesimpulan yang penulis ambil dalam tulisan ini. Akan tetapi ini hanyalah sebuah wacana yang barangkali bisa membuka cakrawala kita tentang arti penting pencatatan bagi sebuah perkawinan. Wallah a’lamu bissawab

Oleh : Drs. H. M. Yusar, MH

1 komentar:

Unknown mengatakan...

Makasih, Pak Ustadz..! Artikelnya cukup memberikan pencerahan..
Tp ada pertanyaan nich, hehe.. Dlm artikel di atas ada pernyataan :
"..tentunya pernikahan yang dilakukan oleh wali yang tidak berhak ini masih dipertanyakan keabsahannya."
dalam kehidupan hal ini saya lihat banyak terjadi meskipun alasannya beragam, sebagai contoh tidak ada wali yg sah karena meninggal dunia.
Apakah dengan kondisi demikian keabsahan pernikahannyapun perlu dipertanyakan juga..?