Selasa, 09 Maret 2021

HUKUM MENIKAHI ANAK DI BAWAH UMUR DALAM ISLAM


Usia ideal menikah dalam Islam atau perkawinan tidak diatur secara mutlak berdasarkan hukum Islam. Dalam agama, tidak ada ketentuan khusus mengenai batas usia minimal dan maksimal untuk melakukan pernikahan agar manusia mengatur sendiri tentang hal ini.

Namun, dalam Al-Quran disyari’atkan untuk seseorang yang ingin melangsungkan pernikahan diharuskan orang yang telah mampu dan siap. Allah berfirman dalam surat An-Nur ayat 32 yang artinya:

“ Dan kawinlah orang-orang yang sendirian di antara kamu dan orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang laki-laki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. Jika mereka miskin, Allah akan memampukan mereka dengan karunia-Nya. Dan Allah Maha Luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui.” (QS An-Nur : 32)

Maksud dari yang layak kawin di sini yaitu seseorang yang sudah mampu baik secara mental maupun spiritual untuk membangun bahtera rumah tangga.  Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam juga bersabda yang isinya memberikan anjuran kepada ummatnya untuk melaksanakan pernikahan dengan kemampuan sebagai syaratnya.

“ Kami telah ceritakan dari Umar bin Hafs bin Ghiyats, telah menceritakan kepada kami dari ayahku (Hafs bin Ghiyats), telah menceritakan kepada kami dari al A’masy dia berkata: ‘ Telah menceritakan kepadaku dari ‘Umarah dari Abdurrahman bin Yazid, dia berkata: ‘ Aku masuk bersama ‘Alqamah dan al Aswad ke (rumah) Abdullah, dia berkata: ‘ Ketika aku bersama Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam dan para pemuda dan kami tidak menemukan yang lain, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda kepada kami: ‘ Wahai para pemuda, barang siapa di antara kamu telah mampu berumah tangga, maka kawinlah, karena kawin dapat menundukkan pandangan dan memelihara kemaluan. Dan barang siapa belum mampu, maka hendaklah berpuasa, maka sesungguhnya yang demikian itu dapat mengendalikan hawa nafsu.” (HR Bukhari)

Dari keterangan di atas, maka dapat disimpulkan secara tidak langsung kedewasaan begitu penting dalam suatu pernikahan, dan itu diakui Al-Quran dan Hadits. Sementara itu, dalam ilmu fiqih tanda-tanda usia dewasa seseorang itu ditentukan secara sifat jasmani dengan adanya tanda-tanda baligh diantaranya: untuk laki-laki yaitu berusia sempurna 15 (lima belas) tahun dan ihtilam, sedangkan bagi perempuan yaitu mengalami haid pada batas usia minimal 9 (sembilan) tahun.

Batas baligh

Apabila seseorang sudah memenuhi usia baligh, maka seseorang tersebut memungkinkan untuk melangsungkan pernikahan. Karena dalam Islam usia baligh itu identik dengan kedewasaan seseorang.

Beberapa ulama memiliki pendapat yang berbeda dalam menentukan kebalighan atau batasan umur seseorang yang bisa dianggap baligh.

·         Pendapat ulama Syafi’iyyah dan Hanabilah

“ Anak laki-laki dan anak perempuan dianggap baligh apabila telah menginjak usia 15 tahun.” (Muhammad Jawad Mughniyyah, al Ahwal al Syakhsiyyah, Beirut: Dar al “Ilmi lil Malayain, tt. Hal: 16)

·         Pendapat ulama Hanafiyyah

“ Anak laki-laki dianggap baligh bila berusia 18 tahun dan 17 tahun bagi anak perempuan.” (Ibid)

·         Pendapat ulama golongan Imamiyyah

“ Anak laki-laki dianggap baligh bila berusia 15 tahun dan 9 tahun bagi perempuan.” (Ibid)

Mayoritas dari para ulama berpendapat, bahwa hukum menikahi anak di bawah umur adalah boleh. Bahkan telah disepakati oleh semua ulama yang dkatakan oleh seorang ulama bahwa dibolehkannya menikahi anak di bawah umur. Adapun dalil-dalil yang memperkuat hal ini yaitu:

1. Dalam Surat At-Thalaq

Firman Allah yang berisi penjelasan tentang rincian masa iddah perempuan yang telah di talaq.

“ Para wanita yang sudah tidak lagi haid (manapaus) di antara istri kalian, jika kalian ragu (tentang masa iddahnya) maka masa iddahnya adalah tiga bulan. Demikian pula para wanita yang belum mengalami haid.” (QS At-Thariq : 4)

Dari ayat di atas, dapat disimpulkan bahwa Allah telah menjelaskan mengenai masa iddah seorang perempuan yang belum mengalami masa haid, adalah dalam waktu tiga bulan. Sedangkan diketahui, tidaklah mungkin seorang perempuan yang belum menikah menjalani masa iddah. Dari sini dapat diartikan, bahwa ini merupakan dalil yang tegas dan menunjukkan bahwa menikahi perempuan yang belum baligh hukumnya boleh. Baca juga mengenai manfaat menikah dalam islam.

Bahkan tafsir Al-Baghawi juga mengatakan:

“ Para wanita yang belum mengalami haid ‘maknyanya adalah gadis kecil yang belum mengalami haid (belum baligh). Masa iddahnya (jika dia dicerai) juga tiga bulan.” (Tafsir al-Baghawi, 8:152)

2. Hadist Riwayat Muslim

Hadits riwayat muslim yang menegaskan tentang Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam yang menikahi Aisyah radhiallahu ‘anha.

“ Telah menceritakab kepadaku Yahya bin Yahya, Ishaq bin Ibrahim, Abu Bakar bin Abi Syaibah dan Abu Karib. Yahya dan Ishaq telah berkata: Telah menceritakan kepada kami dan berkata al Akhrani: Telah menceritakan kepadaku Abu Mu’awiyah dari al A’masyi dari ak Aswad daru ‘Aisyah radhiallahu ‘anha berkata:  Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam mengawiniku pada saat usiaku 6 tahun dan hidup bersama saya pada usiaku 9 tahun dan beliau wafat saat usiaku 18 tahun.” (HR Muslim)

3. Keterangan dan Kesepakatan Ulama (Ijma)

Dalam hal ini beberapa ulama berpendapat dan menegaskan bahwa hukum menikahi anak di bawah umur adalah boleh. Sebagaimana keterangan dari Ibnu Hajar :

“ Gadis kecil, dinikahkan oleh bapaknya dengan sepakat ulama. Tidak ada yang menyelisihi, kecuali pendapat yang asing.” (Fathul Bari, 9:239)

Namun demikian, ada sebagian ulama yang berpendapat bahwa seorang ayah tidak diperbolehkan untuk menikahkan putrinya yang masih belia, kecuali jika putrinya telah baligh dan bersedia untuk dinikahkan. Ibnu Syubrumah adalah salah satu ulama yang berpendapat seperti itu. Dan melalui Ibnu Hazm, Ibnu Syubrumah mengatakan :

“Tidak boleh seorang ayah menikahkan putrinya yang masih kecil, sampai dia baligh dan dia bersedia.” (al-Muhalla, 9:459)

Namun ada pendapat lain, bahwa pernikahan di bawah umur harus ada hak ijbar yakni hak ayah atau kakek (wali) yang akan menikahkan anak gadisnya tanpa harus meminta ijin atau persetujuan lebih dulu kepada anak tersebut, yang penting dia statusnya bukan janda.

Seorang wali (ayah) dapat menikahkan anak gadisnya yang masih belia dan masih perawan yang belum baligh tanpa meminta ijin dan apabila anak gadis tersebut sudah baligh maka tidak ada hak khiyar.

Namun kebalikannya, anak laki-laki yang masih kecil tidak boleh dinikahkan. Kendati demikian, apabila anak gadis menikah di bawah umur maka suaminya tidak boleh langsung menyenggamainya hingga dia mencapai usia baligh dan dewasa sehingga mampu melakukan hubungan badan sebagaimana yang dilakukan suami istri.

Seperti yang kita ketahui, bahwa Abu Bakar radhiallahu ‘anhu telah menikahkan ‘Aisyah radhiallahu ‘anhu dengan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam ketika ‘Aisyah masih berumur 6 tahun tanpa meminta ijin terlebih dahulu darinya. Karena persetujuan anak pada umur sekian di anggap tidak sempurna.

Dan mengenai perihal pernikahan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bersama ‘Aisyah radhiallahu ‘anha menurut para ulama merupakan pengecualian dan merupakan kekhususan untuk Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam karena memang Allah telah memperbolehkan Beliau untuk beristri melebihi dari empat orang dan hal itu dilarang untuk diikuti ummatnya..

Adapun beberapa syarat anak perempuan yang boleh menikah di bawah umur yaitu:

·         Antara wali (ayah atau kakek) dengan anak gadisnya tidak terdapat permusuhan yang real atau nyata.

·         Di antara anak gadis yang akan dinikahkan dengan calon suaminya tidak ada kebencian ataupun permusuhan.  Calon suami yang akan dinikahkan harus sesuai dan setara (kufu). Calon suami harus mampu memenuhi dan memberikan mas kawin yang pantas dan layak.

Sedangkan masing-masing negara mempunyai standar sendiri untuk usia pernikahan dan setiap negara berbeda-beda. Namun dalam hal ini, pada dasarnya prinsip dari setiap negara sama yaitu memperhatikan kedewasaan dan kematangan.

Di Indonesia sendiri, Majelis Ulama Indonesia telah mengeluarkan fatwa bahwa usia yang layak melakukan pernikahan yaitu pada usia ketika sudah mampu  menerima hak dan kecakapan dalam berbuat (ahliyatul ada’ dan ahliyatul wujub).

Ahliyatul ‘ada  merupakan sifat kecakapan yang dipunyai oleh seseorang untuk melaksanakan suatu perbuatan dalam pandangan yang syah menurut syara’ baik bersifat positif ataupun negatif. Akal merupakan dasar dari ahliyatul ada’. Sedangkan ahliyatul wujub merupakan sifat kecakapan yang dimiliki manusia untuk menanggung semua hak dan kewajiban.

Dari pemaparan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa hukum menikahi anak di bawah umur menurut pandangan Islam yaitu diperbolehkan. Karena dalam islam tidak ada batas minimal dan maksimal dalam usia pernikahan.

Sebagai contoh saja Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam menikahi ‘Aisyah radhiallahu ‘anha ketika ‘Aisyah berusia 6 tahun. Namun, seperti yang sudah dijelaskan di atas itu adalah suatu pengecualian untuk Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam.

Sedangkan dalam peraturan perundang-undangan tentang Perkawinan dinegara Indonesia, mengatur bahwa batas minimal seseorang bisa menikah dan dicatatkan pernikahannya  adalah 19 tahun, dan jika kurang dari 19 tahun harus ada ijin (dispensasi) nikah dibawah umur dari pengadilan Agama

Hal ini sebagaimana di atur dalam UU No. 16/2019 tentang Perubahan atas UU No. 1/1974 tentang Perkawinan telah menaikkan usia minimal kawin perempuan dari 16 tahun menjadi 19 tahun. Dengan demikian, usia kawin perempuan dan laki-laki sama-sama 19 tahun. Namun, UU Perkawinan tetap mengatur izin pernikahan di bawah usia 19 tahun.



Tidak ada komentar: