Oleh: Dr Muhammad Hariyadi, MA
Banyak orang "memaksa"
Allah mengabulkan doa-doanya. Mereka menggunakan dalih bahwa Allah telah
berjanji mengabulkan doa para hamba-Nya (QS. Ghafir: 60) dan Allah mustahil
mengingkari janji-janji-Nya (QS. Ar-Ra'd: 31). Jika Allah menunda pengabulan doa
atau menggantinya dengan kebaikan lain, mereka kecewa, merasa diperlakukan
tidak adil dan tidak jarang menyalahkan pihak lain.
Sebenarnya, tidak cukup seseorang
mengeksplorasi satu ayat tentang doa, kemudian memeganginya sebagai satu kaedah
paripurna dan sempurna. Hal tersebut karena ayat-ayat tentang doa banyak
jumlahnya dan memiliki sisi yang saling melengkapi. Belum lagi, kita harus
menggunakan as-Sunnah dalam memahami kekomprehensifan hakikat doa di dalam
Al-Qur'an, sehingga antara yang umum dan khusus terpadu dengan sempurna.
Secara garis besar, Allah SWT
mengabulkan doa semua hamba, sebagaimana tersebut dalam keumuman firman-Nya,
"Dan Tuhanmu berkata: berdoalah kepadaku, niscaya aku akan mengabulkan
doamu." (QS. Ghafir: 60). Sunah Rasul pun memperkuat
pengabulan tersebut, sebagaimana diriwayatkan oleh Salman Al-Farisi bahwa
Rasulullah SAW bersabda, "Sungguh, Tuhanmu adalah Tuhan Yang Mahahidup,
Mahamulia, yang malu jika hamba-Nya sudah berdoa mengangkat kedua tangan
kepada-Nya lalu membalasnya dengan tangan hampa." (HR Ahmad).
Namun secara khusus, doa
meniscayakan kelengkapan syarat, etika, situasi, kondisi dan ikhtiar (usaha)
yang sungguh-sungguh, sehingga pengabulannya menjadi lebih dekat secara logika.
Dari sisi syarat, doa antara lain memerlukan keseriusan, keyakinan dan kemantapan hati.
Dari sisi syarat, doa antara lain memerlukan keseriusan, keyakinan dan kemantapan hati.
Dari sisi etika, doa di antaranya
meniscayakan kerendahan hati, pendekatan intensif kepada Allah, penafian sikap
pamer (riya) dan sombong (QS. Al-A'raf: 55). Dari sisi situasi, doa orang yang
terzalimi, orang tua, orang yang berpuasa, pemimpin adil, musafir akan mudah
dikabulkan Allah SWT.
Rasulullah SAW bersabda,
"Takutlah kamu akan doa orang yang terzalimi, karena doa tersebut tidak
mimiliki penghalang antara dia dengan Allah." (HR. Bukhari-Muslim).
Dari sisi kondisi, doa pada
keadaan, tempat dan waktu yang istimewa semakin mudah pengabulannya, seperti
disebut dalam banyak hadis. Perbedaan kondisi tersebut tidak berarti berdoa di
tempat lain tidak dikabulkan, melainkan keadaan, tempat dan waktu istimewa membuat
semakin dekat dan mudah dikabulkannya doa karena kemuliaan dan keutamaan yang
terdapat di dalamnya.
Rasulullah SAW bersabda,
"Allah SWT turun ke dunia pada setiap malam (di sepertiga malam yang
terakhir) seraya berfirman: "Barang siapa berdoa kepada-Ku, maka pasti Aku kabulkan doanya; barang siapa
meminta kepada-Ku, maka pasti Aku penuhi permintaannya; dan barang siapa
memohon ampun kepada-Ku, maka pasti Aku ampuni dia." (HR. Bukhari).
Dari sisi ikhtiar (usaha), doa
merupakan pelengkapnya. Ia sebab, bukan akibat. Jika ikhtiar yang maksimal
adalah anggota badan, maka doa adalah kepalanya, sehingga ia merupakan satu
kesatuan dari usaha.
Tentu masih banyak sisi lain yang
menentukan kekomprehensifan hakikat doa seperti keniscayaan kehalalan prasarana,
tidak disertai perbuatan dosa, tidak disertai pemutusan silaturahim, tidak
tergesa-gesa, tidak berputus asa dan lain sebagainya.
Namun yang perlu disadari oleh
setiap pendoa adalah bahwa pengabulan Allah dapat terjadi dalam tiga bentuk:
disegerakan sebagaimana permintaan kita; ditunda sampai hari kiamat; dialihkan
dalam bentuk kebaikan yang berbeda.
Dengan pemahaman tersebut, maka
tidak elok jika setiap pendoa menagih janji tunai pengabulan doa yang dapat
mengakibatkan jiwanya tertekan, melainkan hendaknya berserah diri kepada-Nya
dan tetap berpikir kritis serta positif sebab pengabulan doa adalah wilayah
Allah SWT. Wallahu a'lam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar