Menurut etimologi,
hijrah artinya berpindah. Secara terminologi, ia mengandung dua makna, yaitu hijrah
makani dan hijrah maknawi. Maksud hijrah makani adalah hijrah secara fisik berpindah dari suatu
tempat yang kurang baik menuju yang lebih baik, dari negeri kafir menuju negeri
Islam. Adapun hijrah maknawi artinya berpindah
dari nilai yang kurang baik menuju nilai yang lebih baik, dari kebathilan
menuju kebenaran, dari kekufuran menuju keislaman.
Makna terakhir oleh
Ibnu Qayyim bahkan dinyatakan sebagai al-hijrah al-haqiqiyyah. Alasannya,
hijrah fisik adalah refleksi dari hijrah maknawi itu sendiri. Dua makna hijrah
tersebut sekaligus terangkum dalam hijrah Rasulullah saw dan para sahabatnya ke
Madinah. Secara makani jelas mereka berjalan dari Makkah ke Madinah menempuh
padang pasir sejauh kurang lebih 450 km. Secara maknawi jelas mereka hijrah
demi terjaganya misi Islam. Sepanjang masa selalu ada pergantian tahun.
Pergantian tahun selalu dimaknai dan diartikan berbeda-beda, bergantung cara
masing-masing orang merayakannya. Tahun hijriyah adalah bagian yang penting dan
tak terpisahkan dari Tarikh Islam. Tahun hijriyah merupakan tonggak sejarah
Islam, di mana kebangkitan Islam menemukan momentum yang tepat. Dan melalui
sejarah Islam itulah, dapat dilihat, satu demi satu pemberlakuan syari'at
secara bertahap diwahyukan.
Sebelum datangnya
Islam, di tanah Arab dikenal sistem kalender berbasis campuran antara Bulan
(komariyah) maupun Matahari (syamsiyah). Peredaran bulan digunakan, dan untuk
mensinkronkan dengan musim dilakukan penambahan jumlah hari (interkalasi). Pada
waktu itu, belum dikenal penomoran tahun.
Sebuah tahun dikenal dengan nama peristiwa yang cukup penting di tahun
tersebut. Misalnya, tahun dimana Muhammad lahir, dikenal dengan sebutan “Tahun
Gajah”, karena pada waktu itu, terjadi penyerbuan Ka’bah di Makkah oleh pasukan
gajah yang dipimpin oleh Abrahah, Gubernur Yaman. Penetapan kalender Hijriyah dilakukan pada
jaman Khalifah Umar bin Khatab, yang menetapkan peristiwa hijrahnya Rasulullah
saw dari Makkah ke Madinah sebagai awal dari tahun baru Hijriyah. Kalender
Hijriyah juga terdiri dari 12 bulan, dengan jumlah hari berkisar 29 - 30 hari.
Penetapan 12 bulan ini sesuai dengan firman Allah Ta’ala:“Sesungguhnya bilangan bulan pada sisi Allah
ialah dua belas bulan, dalam ketetapan Allah di waktu Dia menciptakan langit
dan bumi, di antaranya empat bulan haram. Itulah (ketetapan) agama yang lurus,
maka janganlah kamu menganiaya diri kamu dalam bulan yang empat itu, dan
perangilah kaum musyrikin itu semuanya sebagaimana mereka pun memerangi kamu
semuanya; dan ketahuilah bahwasanya Allah beserta orang-orang yang bertakwa.”
(QS. At-Taubah: 36).
Berbicara soal waktu
tentu akan melihat detik, menit, jam, hari, pekan, bulan, tahun dan seterusnya.
Tidak ada yang berhenti pada waktu. Semua berjalan mengikuti waktu yang selalu
berubah. Setiap waktu yang bergulir itu pasti memiliki sejarah dan catatan
tersendiri yang mengiringi dan menandainya.
Perubahan itu terjadi dengan sendirinya karena dimakan usia seperti umur
suatu benda yang lama kelamaan terus berubah tanpa harus ada campur tangan
manusia. Namun perubahan perilaku manusia memerlukan ikhtiar yang dimulai
dengan niat, termasuk memaknai pergantian tahun baru Islam 1 Muharram 1433
Hijriyah. Begitu cepat waktu berjalan.
Beberapa hal yang
bisa diambil dari peristiwa hijrah adalah:
1.
Perisitwa hijrah Rasululah dan para
sahabatnya dari Makkah ke Madinah merupakan tonggak sejarah yang monumental dan
memiliki makna yang sangat berarti bagi setiap muslim;
2.
Hijrah mengandung semangat perjuangan
tanpa putus asa dan rasa optimisme yang tinggi. Menegakkan aqidah di tengah
budaya jahiliyah adalah perjuangan berat;
3.
Hijrah mengandung semangat
persaudaraan. Kaum Anshor Madinah dengan sepenuh hati menerima kaum Muhajirin
Makkah, dan inilah contoh ukhuwah yang sejati.
Hijrah adalah urusan yang berat dan
sulit. Di bawahnya terdapat onak dan duri. Terkadang harus mengarungi lautan,
mendaki puncak-puncak gunung, hidup di antara serangga berbisa dan
binatang-binatang buas. Ya, hijrah merupakan perkara yang berat bagi diri
manusia. Padahal jiwa manusia berdasarkan tabiatnya lebih menyenangi kampung
halamannya dan senang melihat wajah-wajah yang akrab di matanya dalam masa yang
panjang. Meskipun demikian, jika seorang yang beriman merealisir ibadah itu
(hijrah) dan mengiringinya dengan berjuang, maka sesungguhnya dia layak untuk
mengharap rahmat Allah.
Hijrah mempunyai
kedudukan yang sangat tinggi di sisi Allah. Dan kata hijrah menjadi identik
dengan kata benar. Allah Ta’ala menyebut orang-orang yang berhijrah dengan
sebutan orang-orang yang benar. Akan tetapi Allah membuat orang-orang yang
menang bukan semata orang-orang yang benar. Allah berfirman: “(Yaitu)
orang-orang fakir muhajirin yang diusir dari kampung halaman mereka dan dari
harta mereka karena menuntut karunia Allah dan keridloan-Nya. Dan mereka
menolong Allah dan Rosul-Nya. Mereka itulah orang-orang yang benar. ”(QS.
Al-Hasyr: 8)
Maka dari itu derajat
shiddiq (benar) itu lebih tinggi, karena ia selalu berkaitan dengan kedudukan
hijrah, yang mana jihad itu tidak akan sempurna tanpanya. Allah berfirman:
“Barang siapa berhijrah di jalan Allah, niscaya akan memperoleh tempat pindah
yang banyak di bumi serta kelapangan rizki.” (QS. An-Nisa’: 100) Konstruksi
bangunan peradaban Islam dimulai sejak berawalnya hijrah. Secara historis
faktual, masyarakat Madinah sebagai komunitas yang menerima kedatangan kaum
Muhajirin Makkah telah dengan sepenuh hati membuka lebar kesempatan untuk
bergabung dan menempati wilayah Yatsrib sebagai tempat hunian yang layak dan
nyaman. Rasulullah dan para sahabat
hendak membangun komunitas yang selanjutnya dikenal dengan masyarakat madani.
Bangunan peradaban dalam masyarakat di kota Madinah itulah yang kemudian
memancar dan mampu memberi warna dunia dengan segala pancaran cahaya keimanan,
kekuatan aqidah yang membentang, sinaran budi yang menembus jagad semesta raya.
Dan Nabi Muhammad saw adalah memang diutus untuk menyempurnakan budi pekerti
yang mulia.
Hijrah pada masa lalu
tidak akan kita lakukan kini. Perintah hijrah dari Makkah ke Madinah adalah
khusus untuk Rasul saw dan para sahabatnya. Tidak mungkin kita melakukan hal
itu sementara kita berada di Indonesia dengan kondisi yang sedemikian
adanya. Hijrah pada masa kini adalah
menunjukkan kepada Allah dan Rasul-Nya
bahwa kita mampu melaksanakan hijrah dalam bentuk kontekstual; meninggalkan
berbagai bentuk kemaksiatan yang menular, melepas belenggu syahwat yang kronis,
mengkonsumsi produk dalam negeri dan menjauhi produk negeri tiran, dan
seterusnya. Sebagai insan Muslim, hijrah adalah suatu keniscayaan.
Pemaknaan hijrah itu bergantung pada situasi dan kondisi yang mengitarinya.
Hijrah tidak akan dilakukan tanpa adanya pertimbangan dan pemikiran yang
mendalam. Hingga hijrah itu dilakukan sebagai bentuk pilihan yang aplikatif
berdasar pada kesadaran dan keterpanggilan menjalankan agama Allah dan
menegakkannya di muka bumi.
Sebagai apapun kita
adanya itulah kita. Kita tekuni bidang kita. Kita nikmati fokus kita. Jika
menjadi petani, nikmatilah profesi bertani. Jika menjadi pedagang di pasar,
nikmatilah profesi berdagang. Yang bekerja di kantor, berperilakulah secara
istiqomah dan komitmen sebagai aparatur pemerintah. Kesemua bidang kehidupan
yang menjadi bagian kita adalah pilihan kita yang tepat sesuai kemampuan dan
porsi kita, dan niat yang menjadi motor penggerak non-fisik hendaknya lurus
menuju kepada Allah semata.
Motivasi hijrah yang
direalisasikan dengan sungguh-sungguh itu merupakan bentuk manifestasi iman
yang selama ini Nabi dan para sahabat pegangi dan perjuangkan. Siapapun di
antara kaum Muslim dapat memilih dan mengambil ibroh dari spirit berhijrah Nabi
saw. Di dalam aspek kehidupan manapun orang berkecimpung, semangat hijrah dapat
diaktualisasikan. Pendekatan yang digunakan adalah keimanan.
Dengan semangat
hijrah Nabi saw setiap insan Muslim dapat: memperbaiki hubungan persaudaraan
dengan siapapun tanpa sekat-sekat politik atau kepentingan; membangun aqidah
umat di setiap tempat kita berdomisili; mengedepankan urusan ketuhanan
ketimbang masalah duniawi; menerapkan asas keberasaan dan sikap egaliter, tanpa
rasa sok kuasa; menyeimbangkan kualitas dan kuantitas hidup; dan
sebagainya. Mengupayakan transformasi
nilai-nilai hijrah dalam bentuk nyata keseharian dapat menyelaraskan antara
perilaku jasmani dengan keyakinan ruhani. Nilai hijrah tidak sebatas semangat
untuk beragama dan bersosial semata, melainkan meneguhkan kualitas keyakinan
setiap insan Muslim dalam mengarungi bahtera kehidupan.
Masihkah kita berdiam
diri dan tidak mau mengikuti jejak Rasul saw melalui kontekstualisasi hijrah di
masa sekarang? .
Tidak ada komentar:
Posting Komentar