Rabu, 30 April 2014

Takwa Kepada Allah


Takwa, secara bahasa artinya melindungi diri. Yaitu seseorang melakukan sesuatu untuk melindingi dirinya dari perkara yang dia takuti dan dia khawatirkan. Adapun takwa hamba kepada Rabb-nya adalah, hamba itu melindungi dirinya dari kemurkaan dan siksa Allah. Yakni dengan cara beribadah, yaitu melaksanakan ketaatan kepada- Nya dan menjauhi kemaksiatan kepada-Nya.


Thalq bin Habib rahimahullah berkata, Taqwa adalah, engkau mengamalkan ketaatan kepada Allah, di atas cahaya dari Allah, engkau mengharapkan rahmat Allah. Engkau meninggalkan kemaksiatan kepada Allah, di atas cahaya dari Allah, engkau takut siksa Allah. (Majmu‟atul Fatawa Ibnu Taimiyah, 4/105).

Perkataan Thalq bin Habib ini menjelaskan hakikat takwa. Bahwa di dalam takwa harus ada amal, iman, serta ikhlas; yang mana ketiga hal tersebut membutuhkan ilmu.

Pertama, Amal.
Amal adalah perbuatan. Yaitu dengan melaksanakan ketaatan dan menjauhi kemaksiatan. Amal akan diterima, jika mengikuti syariat Nabi Muhammad SAW. Dan sudah pasti, seseorang tidak dapat mengetahui syariat Islam, kecuali dengan ilmu.

Imam Ibnu Rajab rahimahullah berkata, ―Pondasi takwa adalah, seorang hamba mengetahui apa yang (harus) dijaga, kemudian dia menjaga diri (darinya)‖. (Jami‟ul Ulum wal Hikam, 1/402).
Barangsiapa meninggalkan amal, maka dia akan menyesal. Allah berfirman, Dan orang-orang kafir, bagi mereka neraka Jahannam. Mereka tidak dibinasakan sehingga mereka mati, dan tidak (pula) diringankan dari mereka adzabnya. Demikianlah Kami membalas setiap orang yang sangat kafir. Dan mereka berteriak di dalam neraka itu, "Ya Rabb kami, keluarkanlah kami, niscaya kami akan mengerjakan amal shalih berlainan dengan yang telah kami kerjakan". Dan apakah Kami tidak memanjangkan umurmu dalam masa yang cukup untuk berfikir bagi orang yang mau berfikir, dan (apakah tidak) datang kepada kamu pemberi peringatan, maka rasakanlah (adzab Kami) dan tidak ada bagi orang-orang yang zhalim seorang penolongpun. (Q.s. Fathir: 36, 37).

Kedua, Iman.
Imam Ibnul Qayyim rahimahulalh menyatakan, ―(Perkataan Thalq bin Habib) „di atas cahaya dari Allah‘, (sebagai) isyarat kepada iman, yang merupakan sumber amalan, dan yang menjadi pendorongnya‖. (Tuhfatul Ahbab, hlm. 10-11).
Seseorang yang melaksanakan perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya, jika tanpa landasan iman, maka amalan itu tidak akan diterima oleh Allah. Dia berfirman, Dan orang-orang yang kafir, amal-amal mereka adalah laksana fatamorgana di tanah yang datar, yang disangka air oleh orang-orang yang dahaga, tetapi bila didatanginya air itu, dia tidak mendapatinya sesuatu apapun. Dan didapatinya (ketetapan) Allah di sisinya, lalu Allah memberikan kepadanya perhitungan amal-amalnya dengan cukup, dan Allah sangat cepat perhitunganNya. (Q.s. an Nuur: 39).
 Sebagaimana syarat amal adalah ilmu, maka demikian juga untuk mengetahui iman, juga diperlukan ilmu.

Ketiga, Ikhlas.
Perkataan Thalq bin Habib ―mengharapkan rahmat Allah ketika mengamalkan ketaatan, dan takut siksa Allah ketika meninggalkan kemaksiatan, merupakan isyarat terhadap ikhlas. Kita mengetahui, bahwa amalan yang tidak ikhlas, juga akan ditolak oleh Allah.

Dari Abu Hurairah, bahwa Rasulullah bersabda, “Allah Subhanahu wa Ta‟ala berfirman, „Aku dipersekutukan, padahal (Aku) tidak membutuhkan persekutuan. Barangsiapa beramal dengan amalan untuk-Ku, dia menyekutukan selain Aku di dalam amalan itu, maka Aku berlepas diri darinya, dan amalan itu untuk yang telah dia sekutukan.‟” (H.r. Ibnu Majah, no. 4202 dan lainnya. Dishahihkan oleh al Albani di dalam Shahih Targhib wat Tarhib, no. 31).

Demikianlah Semoga dapat mendorong kita untuk giat menuntut ilmu agama, kemudian istiqamah mengamalkannya. Dan semoga kita selalu bertakwa kepada Allah Ta‟ala sampai kita menghadap-Nya dalam keadaan Islam.

Tidak ada komentar: