Takwa,
secara bahasa artinya melindungi diri. Yaitu seseorang
melakukan sesuatu untuk melindingi dirinya dari perkara yang dia takuti dan dia
khawatirkan. Adapun takwa hamba kepada Rabb-nya adalah, hamba itu melindungi
dirinya dari kemurkaan dan siksa Allah. Yakni dengan cara beribadah, yaitu
melaksanakan ketaatan kepada- Nya dan menjauhi kemaksiatan kepada-Nya.
Thalq
bin Habib rahimahullah berkata, Taqwa adalah, engkau mengamalkan
ketaatan kepada Allah, di atas cahaya dari Allah, engkau mengharapkan rahmat
Allah. Engkau meninggalkan kemaksiatan kepada Allah, di atas cahaya dari Allah,
engkau takut siksa Allah. (Majmu‟atul Fatawa Ibnu Taimiyah, 4/105).
Perkataan
Thalq bin Habib ini menjelaskan hakikat takwa. Bahwa di dalam takwa harus ada
amal, iman, serta ikhlas; yang mana ketiga hal tersebut membutuhkan ilmu.
Pertama, Amal.
Amal
adalah perbuatan. Yaitu dengan melaksanakan ketaatan dan menjauhi kemaksiatan. Amal
akan diterima, jika mengikuti syariat Nabi Muhammad SAW. Dan sudah
pasti, seseorang tidak dapat mengetahui syariat Islam, kecuali dengan ilmu.
Imam
Ibnu Rajab rahimahullah berkata, ―Pondasi takwa adalah, seorang hamba mengetahui
apa yang (harus) dijaga, kemudian dia menjaga diri (darinya)‖. (Jami‟ul Ulum
wal Hikam, 1/402).
Barangsiapa
meninggalkan amal, maka dia akan menyesal. Allah berfirman, Dan orang-orang
kafir, bagi mereka neraka Jahannam. Mereka tidak dibinasakan sehingga mereka
mati, dan tidak (pula) diringankan dari mereka adzabnya. Demikianlah Kami
membalas setiap orang yang sangat kafir. Dan mereka berteriak di dalam neraka
itu, "Ya Rabb kami, keluarkanlah kami, niscaya kami akan mengerjakan amal
shalih berlainan dengan yang telah kami kerjakan". Dan apakah Kami tidak
memanjangkan umurmu dalam masa yang cukup untuk berfikir bagi orang yang mau
berfikir, dan (apakah tidak) datang kepada kamu pemberi peringatan, maka
rasakanlah (adzab Kami) dan tidak ada bagi orang-orang yang zhalim seorang
penolongpun. (Q.s. Fathir: 36, 37).
Kedua,
Iman.
Imam
Ibnul Qayyim rahimahulalh menyatakan, ―(Perkataan Thalq bin Habib) „di
atas cahaya dari Allah‘, (sebagai) isyarat kepada iman, yang merupakan
sumber amalan, dan yang menjadi pendorongnya‖. (Tuhfatul Ahbab, hlm.
10-11).
Seseorang
yang melaksanakan perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya, jika tanpa landasan
iman, maka amalan itu tidak akan diterima oleh Allah. Dia berfirman, Dan
orang-orang yang kafir, amal-amal mereka adalah laksana fatamorgana di tanah yang
datar, yang disangka air oleh orang-orang yang dahaga, tetapi bila didatanginya
air itu, dia tidak mendapatinya sesuatu apapun. Dan didapatinya (ketetapan)
Allah di sisinya, lalu Allah memberikan kepadanya perhitungan amal-amalnya
dengan cukup, dan Allah sangat cepat perhitunganNya. (Q.s. an Nuur: 39).
Sebagaimana
syarat amal adalah ilmu, maka demikian juga untuk mengetahui iman, juga diperlukan
ilmu.
Ketiga,
Ikhlas.
Perkataan
Thalq bin Habib ―mengharapkan rahmat Allah ketika mengamalkan ketaatan, dan
takut siksa Allah ketika meninggalkan kemaksiatan, merupakan isyarat
terhadap ikhlas. Kita mengetahui, bahwa amalan yang tidak ikhlas, juga akan
ditolak oleh Allah.
Dari
Abu Hurairah, bahwa Rasulullah bersabda, “Allah Subhanahu wa Ta‟ala berfirman, „Aku
dipersekutukan, padahal (Aku) tidak membutuhkan persekutuan. Barangsiapa
beramal dengan amalan untuk-Ku, dia menyekutukan selain Aku di dalam amalan
itu, maka Aku berlepas diri darinya, dan amalan itu untuk yang telah dia
sekutukan.‟” (H.r. Ibnu Majah, no. 4202 dan lainnya. Dishahihkan oleh al Albani
di dalam Shahih Targhib wat Tarhib, no. 31).
Demikianlah
Semoga dapat mendorong kita untuk giat menuntut ilmu agama, kemudian istiqamah
mengamalkannya. Dan semoga kita selalu bertakwa kepada Allah Ta‟ala sampai
kita menghadap-Nya dalam keadaan Islam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar